Kremasi
Agung
by Rudy Pangemanan
Sekitar pukul 10 pagi saya berangkat dari Nusa Dua menuju Ubud
untuk melihat langsung Upacara Pelebon
Puri Agung Ubud. Acara ini sangat langka dan sayang untuk dilewatkan.
Jalur lalu lintas dari arah Jl. Raya Pengosekan ke Jl. Wenara Wana
Monkey Forest menuju ke Ubud Market telah direkayasa demi kelancaran upacara Pelebon Puri
Agung, sehingga saya langsung mengarah ke Peliatan melalui Jl. Raya Andong menuju ke Setra (Lokasi Pemakaman) tepat di ujung Jl. Raya Ubud.
Saya semakin antusias untuk menyaksikan dan langsung berbaur di
tengah keramaian. Cuaca yang sangat cerah –Panas yang sangat terik, tidak
menjadi halangan sama sekali… Ritual seperti ini belum tentu ada dalam setahun
sekali, bahkan mungkin lebih…
Bagaikan wartawan dari Antah-berantah News, saya mulai
mengabadikan setiap momen yang menarik menurut mata dan lensa saya.
Pelebon
dari Puri Agung Ubud belum di mulai, tetapi satu iring-iringan yang mengusung Bade dan Lembu yang tidak terlalu besar namun megah terlihat memasuki lokasi.
Setelah serangkaian ritual terakhir selesai dijalankan, jenazah
yang berbaring di dalam Lembu yang tidak sedikit biaya untuk mempersiapkannya
dibakar. Hanya beberapa menit semua telah terbakar habis.
Ketika dari kejauhan terdengar kembali suara Gamelan Gong, seorang ibu muda yang cantik dengan kebaya khas Bali menegur saya, “There’s a priest will be cremated too…” sambil senyum penuh tanya, “emhh, do you speak English or..?”
Saya tersenyum, “Tyiang nak Indonesia saking Manado!” Dan kami tertawa… “Kadenan nak
Korea...!” lanjutnya –Ow, ternyata ni ibu
penggemar K-Pop… Kaga salah dech, gue kan mirip Sule!
Dukungan dari berbagai instansi juga terlihat kompak
bahu-membahu memperlancar jalannya acara.
Pecalang, Polri dan TNI
turut siaga dalam pengamanan, kabel listrik dan telepon yang melintang di
tengah jalan dilepas agar Bade Pelebon tidak tersangkut, beberapa unit pemadam kebakaran juga siap di
lokasi sebagai antisipasi kejadian yang tak diharapkan selama acara
berlangsung.
Beberapa menit setelah kremasi jenazah sang Pendeta, terdengar
lagi suara Gamelan khas Bali yang bertabuh sangat enerjik.
Tidak hanya saya
yang lari menuju ke suara gamelan itu, tetapi ratusan photographer dan
videographer dari berbagai arah berebut angle untuk merekam peristiwa yang
sangat kolosal.
Saya terlambat untuk melihat iring-iringan terdepan, tetapi Lembu berwarna ungu kehitaman setinggi 7.5
meter dipikul puluhan orang bergerak mantab memasuki lokasi Setra membuat mata saya hampir copot dan
dagu melorot… Ohh my Gosh!…
Luar Biasa!
Belum sempat mengkoreksi posisi dagu saya, Bade
Pelebon setinggi 26 meter dengan berat tidak
kurang dari 6 ton dipikul ratusan orang tiba di lokasi…
Amazing! Incredible! Spectacular!... –saya tidak
mampu menuliskan dengan kata-kata dan kalimat betapa luar biasa atmosphere pada
acara Pelebon Puri Agung Ubud ini…

Puncak Acara Pelebon di Puri Agung Ubud pada tanggal 1 November
2013, merupakan ritual yang sangat besar, mewah dan sakral yang hanya
diselenggarakan oleh keluarga kerajaan di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Tjokorda Istri Sri Tjandrawati yang wafat pada
tanggal 14 Oktober 2013 di Singapura karena sakit adalah istri dari Pelingsir (Pemimpin Keluarga Besar) Puri Ubud, Kabupaten Gianyar Tjokorda Gde Putra Sukawati.
Sejak beliau berpulang pada usia 59 tahun, Keluarga Puri Agung
Ubud yang dibantu ribuan orang terlibat dalam berbagai persiapan dan rangkaian
upacara sakral selama sekitar 15 hari, termasuk pembuatan Bade Pelebon Tumpang Sia (Menara Kremasi susun
9) setinggi 26 meter dengan berat mencapai 6 Ton yang dipanggul oleh warga
sebanyak 4000 orang menuju Setra (Pemakaman) yang berjarak hampir 1 Km dari Puri Agung Ubud, dan Lembu (Sapi) setinggi 7,5 meter juga
diusung ke Setra untuk kemudian dibakar beserta jenazah.
Salah satu
pelajaran yang dapat saya ambil dari pengalaman ini adalah, betapa luar biasa
Kesetiaan, Penghormatan dan Penghargaan warga masyarakat kepada tokoh yang
menjadi panutan.
Selain itu, Pelebon Puri Agung Ubud merupakan salah satu bukti nyata bahwa Bali tetap kokoh
menghadapi gelombang modernisasi yang perlahan tapi pasti mengeliminasi budaya
dan tradisi…
Respect and proud
of our culture!
OMG....... Harapan yang nggak pernah terwujud dalam puluhan kali kunjungan ke pulau ini...... You are so lucky, buddy !!
BalasHapusBetul sist... Suatu keberuntungan bisa menyaksikan pelebon di pulau dewata karena peristiwa ini nggak selalu terjadi.
HapusSemoga besok besok ada kesempatan ya...
Ok... Take care
Share di blog kita dong......
HapusKesempatan yang nggak mudah, you lucky day brooo
BalasHapus